A.
PENDAHULUAN
Berdasarkan perkembangan sejarah
mengenai peristilahan ‘negara’ atau ‘state’ dalam literatur dapat kita catat
beberapa istilah yang sering dijadikan padanan kata. Masing-masing padanan kata
‘negara ini memiliki karakternya sendiri-sendiri. Istilah atau terms yang menjadi penunjuk bagi negara
itu antara lain:
1.
Polis
(City State)
2.
Country
(Country-State)
3.
Civitas
/ Civiteit
4.
Rijk
atau reich
5.
La
stato; staat; state (Nation-State)
6.
Kerajaan
(Monarchy)
7.
Kesultanan
(Soulthan)
8.
Nagara
/ negara / negeri
9.
Desha,
desa, desh (seperti Bangladesh)
10. Land (seperti England)[1]
Ilmu negara memuat pengertian dan
sendi-sendi pokok daripada negara dan hukum tata negara. Jadi ilmu negara
merupakan hasil abstraksi dari negara-negara. Istilah yang dipakai adalah ‘Allgemeine Staatslehre’ seperti pada Georg Jellinek dan Kranenburg. Ilmu
negara ini termasuk dalam lapangan Geisteswissenchaften.
Ilmu negara khusus memiliki esensi pada
Pancasila. Negara Republik Indonesia adalah Negara Pancasila. Pancasila menjadi
rujukan utama dan dasar filosofis dalam ‘teori bernegara’ bangsa Indonesia.
B.
NEGARA
Negara
sebagai suatu susunan kekuatan merupakan bangunan yang hidup.[2]
Agar setiap orang dapat menikmati haknya dengan damai, dan milik pribadi dapat
terjamin keberadaannya, masyarakat bersepakat untuk bersama-sama membentuk
msyarakat politis political society) melalui suatu perjanjian asal (original
compact).[3]
Pada abad ke-15 telah mulai dipergunakan
istilah Lo Stato yang berasal dari
bahasa Italia yang kemudian telah menjelma menjadi perkataan L ‘Etat’ dalam bahasa Perancis, The State dalam bahasa Inggris atau Der Staat dalam bahasa Jerman dan De Staat dalam bahasa Belanda.
Kata Lo
Stato yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Negara, pada waktu itu diartikan sebagai
suatu sistem tugas-tugas atau fungsi-fungsi publik dan alat-alat perlengkapan
yang teratur di dalam wilayah (daerah) tertentu.
Seperti halnya dengan hukum yang banyak
perumusannya, demikan pula terdapat banyak istilah tentang Lo Stato menurut para negarawan yang diantaranya adalah sebagai
berikut :
1.
R. M. Mac Iver : The state must
either be an institutional sistem or an association! When we speak of the state
we mean the organization of which government is the administrative organ.[4] (Negara harus menjadi sebuah institusional sistem atau sebuah asosiasi!
Saat kita berbicara tentang Negara yang kita maksud adalah organisasi
pemerintah yang merupakan bagian dari administaritif.)
2.
Herman Finer : The state is a
territorial association in which social and individual forces of every kind struggle
in all their great variety to control its government vested with supreme
legitimate power.[5]
3.
Prof. Dr. J. H. A. Logemann : De
staat is een gezags-organizatie (negara
ialah suatu organisasi kekuasaan/kewibawaan).[6]
4.
Prof.
R. Djokosutono, S. H. : Negara ialah suatu organisasi manusia atau kupuloan
manusia-manusia yang berada di bawah suatu pemerintah yang sama.
5.
G.
Pringgodigdo, S. H. : Negara ialah suatu organisasi kekuasaaan atau organisasi
kewibawaan yang harus memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu, yaitu harus
ada: Pemerintah yang berdaulat, wilayah tertentu dan rakyat yang hidup dengan
teratur sehingga merupakan suatu nation (bangsa).
Adapun istilah Lo Stato, pada mulanya digunakan untuk menyebutkan pihak yang
diperintah (dependent). Namun
kemudian pada zaman raja-raja memerintah secara absolut (mutlak), maka dengan state diartikan memerintah seperti yang
dilakukan oleh Raja Louis XIV dari Perancis, yang dikenal dengan ucapannya L’ Etat Cest Moi (negara adalah saya).
Akhirnya dengan timbulnya demokrasi,
maka pengertian state sebagai The Community that is governed dapat
menyampingkan pengertian dari zaman raja-raja yang memerintah secara mutlak.
Pada waktu sekarang tak dapat lagi
disamakan antara State dengan Government. Hal ini telah dinyatakan
oleh The Supreme Court of the United
States (Mahkamah Agung Amerika Serikat) pada tahun 1870, yaitu dalam
memberikan keputusannya mengenai peristiwa tubrukan kapal Perancis Euryale
dengan kapal Ameriika Serikat Saphire.
Dalam keputusan Mahkamah Agung Amerika
Serikat itu, dinyatakan bahwa kapal Eurytale tetap menjadi milik negara
Perancis, sekalipun Pemerintahnya telah diganti, yaitu dari Pemerintah Kaisar
Napoleon III kepada Pemerintah Republik Perancis. Di sini dengan state telah diartikan the national sovereignty, sedangkan
dengan government diartikan the agentof representative of national
sovereignty.
Masalah yang dapat dikemukakan dalam
melihat negara sebagai suatu kebulatan yang utuh (ganzheit) ialah : apakah
sifat hakikatnya, apakah tujuannya, bagaimnakah terjadinya, dan sesuai dengan
kenyataan bahwa di dunia ini telah ada sejarah perkembangan teori bernegara. Di
mana ada penggolongan sejarah menurut tipe negaranya, maka perlu diketahui tipe
apakah suatu negara itu.
Secara historis, apa sebenarnya negara
itu dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.
Pada
zaman Yunani, negara itu adalah polis, yang kalau ditinjau dari kacamata
sekarang artinya suatu negara (sebesar) kota (city-state) dengan segala
sifat-sifat, seperti misalnya demokrasi langsung dan lain-lain. Dari sinilah
timbul kemudian pengertian politik.
2.
Di
abad pertengahan dilihat bahwa negara itu adalah suatu ‘organisasi masyarakat’
yang bernama Civitas terena
(keduniawian) di samping Civitas Dei (keagamaan)
dan Civitas Academica (ilmiah).
3.
Dipermulaan abad modern ini kita jumpai pandangan bahwa negara
itu adalah ‘milik’ suatu dinasti/emperium, di mana sebagai eksesnya yang paling
menonjol nampak pada ungkapan : ‘L’etat
c’est moi’.
4.
Negara
itu sifat hakikatnya adalah suatu ikatan tertentu atau status tertentu
(staat-state). Yaitu status bernegara sebagai lawan daripada status belum
bernegara. (status naturalis lawan status civilis atau status berhukum rimba
dan status di mana hak-hak civil atau hak asasi warga negara terjamin)
C.
TERJADINYA NEGARA
Dalam teori ini dikandung pengertian
bahwa urutan penahapan yang berkembang dari ha yang sangat sederhana dari
terjadinya negara sampai kepada lahirnya negara yang modern. Memang untuk
memahami terjadinya negara banyak dasar-dasar ataupun teori-teori yang dikemukakan
para ahli negara dan hukum. Mengenai teori terjadinya negara, ada dua sisi
pembahasan.
1.
Teori
Terjadinya Negara Secara Primer
Yang dimaksud dengan
terjadinya negara secara primer adalah teori yang membahas tentang terjadinya
negara yang tidqak dihubungkan dengan negara yang telah ada sebelumnya.
Menurut teori ini perkembangan negara secara primer melalui 4
fase:
a.
Fase
Genootshap (Genossenchaft)
Pada fase ini merupkan
perkelompokkan dari orang-orang yang menggabungkan dirinya untuk kepentingan bersama,
dan disandarkan pada persamaan. Mereka menyadari bahwa mereka mempunyai
kepentingan yang sama dan kepemimpinan di sini dipilih secara Primus Inter Pares atau yang terkemuka
di antara yang sama. Jadi yang penting pada masa ini adalah unsur bangsa.
b.
Fase
Reich (Rijk)
Pada fase ini kelompok
orang-orang yang mengabungkan diri tadi telah sadar akan Hak Milik Atas Tanah hingga muncullah Tuan yang berkuasa atas tanah
dan orang-orang yang menyewa tanah. Sehingga timbul Sistem Feodalisme. Jadi yang penting pada masa ini adalah unsur wilayah.
c.
Fase
Staat
Pada fase ini
masyarakat telah sadar dari tidak bernegara menjadi bernegara dan mereka telah
sadar bahwa mereka berada pada satu kelompok. Jadi yang penting pada masa ini
adalah ketiga unsur daripada negara yaitu bangsa,
wilayah, dan pemerintah yang
berdaulat telah terpenuhi.
d.
Fase
Democratische Natie
Fase ini merupakan
perkembangan lebih lanjut dari pada fase staat, di mana democratische natie ini
terbentuk atas dasar kesadaran demokrasi nasional, kesadaran akan adanya
kedaulatan di tangan rakyat.
Selain daripada itu, setelah fase-fase
yang telah dijabarkan sebelumnya, terdapat fase diktator yang menimbulkan dua
pendapat :
a.
Menurut
Sarjana Jerman
Mereka berpendapat
bahwa bentuk diktator ini merupakan perkembangan lebih lanjut daripada
Democatische Natie.
b.
Menurut
Sarjana Lainnya
Mereka berpendapat
bahwa diktator ini bukanlah merupakan perkembangan lebih lanjut daripada
Democratische Natie, tetapi merupakan variasi atau penyelewenangan daripada
Democratische Natie.
2.
Teori
Terjadinya Negara Secara Sekunder
Yang dimaksud dengan terjadinya negara secara sekunder adalah teori yang
membahas tentang terjadinya negara yang dihubungkan dengan negara-negara yang
telah ada sebelumnya. Jadi yang penting dalam pembahasan terjadinya negara
sekunder ini adalah masalah pengakuan atau erkening.
Mengenai masalah pengakuan atau erkening
ini ada tiga macam sebagai berikut :
a. Pengakuan De Facto (Sementara)
Yang dimaksudkan dengan pengakuan de facto adalah pengakuan yang
bersifat sementara terhadap munculnya atau terbentuknya suatu negara baru,
karena kenyataannya negara baru itu memang ada namun apakah prosedurnya melalui
hukum, hal ini masih dalam penelitian hingga akibatnya pengakuan yang diberikan
adalah bersifat sementara. Pengakuan de facto ini dapat meningkat kepada
pengakuan de jure apabila prosedur munculnya negara baru itu melalui prosedur
hukum yang sebenarnya.
b. Pengakuan De Jure (Pengakuan Yuridis)
Yang dimaksudkan dengan pengakuan de jure adalah pengakuan yang
seluas-luasnya dan bersifat tetap terhadap munculnya atau timbulnya atau
terbentuknya suatu negara, dikarenakan terbentuknya negara baru berdasarkan
yuridisatau berdasar hukum.
c. Pengakuan Atas Pemerintahan De Facto
Pengakuan atas pemerintahan de facto ini diciptakan oleh seorang sarjana
Belanda yang bernama Van Haller pada saat proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia.
Yang dimaksud dengan pengakuan atas pemerintahan de facto adalah suatu
pengakuan hanya terhadap pemerintahan daripada suatu negara. Jadi yang diakui
hanya terhadap pemerintahan, sedangkan terhadap wilayahnya tidak diakui, apalah
artinya. Unsur-unsur adanya negara adalah harus ada pemerintahan, wilayah dan
rakyat. Jadi jika hanya pemerintahan saja yang ada maka itu bukanlah merupakan
negara, karena tidak cukup unsur-unsurnya.
Menurut
Jellinek, terjadinya negara itu ada dua macam :[7]
1. de primaire wording
2. de secundare wording
D.
TUJUAN NEGARA
Tidak
ada suatu negara yang tidak mempunyai tujuan. Beraneka ragam tujuan negara itu.
Tiap penguasa dapat saja mengemukakannya. Paham sarjana-sarjana ada yang
mengemukakan tujuan negara itu dihubungkan dengan tujuan akhir dari manusia dan
ada pula yang menghubungkannya dengan kekuasaan.
Tujuan
negara ialah negara itu sendiri. Kata Hegel, negara itu adalah person yang
mempunyai kemampuan sendiri dalam mengejar pelaksanaan ide umum. Ia memelihara
dan menyempurnakan diri sendiri. Maka kewajiban tertinggi manusia adalah
menjadi warga negara sesuai dengan undang-undang. Kaum diktator menganut paham,
negara itu sendiri sebagai tujuan. Warganya mesti mengorbankan apa saja yang
diperintahkan pemegang kuasa. Jadi penjelmaannya ialah negara kekuasaan. Perlu
kiranya ditambahkan, bahwa Hegel menciptakan juga teori dialektika : melalui
tese, antitese, dan sintese lahir dan timbullah kemajuan.
Adapun
pendapat beberapa ahli tentang tujuan negara, yaitu :
1. Agustinus menyatakan tujuan negara dihubungkan dengan cita-cita manusia
hidup di alam kekal yaitu sesuai yang diinginkan Tuhan.
2. Shang Yang menghubungkan tujuan negara dengan mencari kekuasaan semata,
sehingga negara ini identik dengan penguasa.
3. Menurut John Locke dengan pembentukan poltical or civil society, manusia
itu tidak melepaskan hak asasinya.
E.
TEORI
TIPE
NEGARA
Teori
tipe negara bermaksud membahas tentang penggolongan negara dengan didasarkan
kepada cirri-ciri yang khas, yakni :
1. Tipe-Tipe Negara Menurut Sejarah
a. Tipe Negara Timur Purba
Negara-negara Timur Purba tipenya Tyrani, raja-raja berkuasa mutlak.
Negara ini dapat dikenali melalu cirri-cirinya:
1) Bersifat theocraties (keagamaan). Raja dianggap dewa oleh warganya.
2) Pemerintahan bersifat absolute (mutlak).
b. Tipe Negara Yunani Kuno
Negara Yunani Kuno mempunyai tipe sebagai negara kota atau polis (city
state). Besarnya negara koa hanyalah satu kota saja yang dilingkari benteng
pertahanan. Penduduknya sedikit dan pemerintahan demokrasi langsung. Dalam
pelaksanaan demokrasi langsung rakyat diberikan pelajaran ilmu pengetahuan atau
dikenal instilah encyclopaedie. Pemerintahan berjalan dengan mengumpulkan
rakyat di satu tempat yang disebut acclesia. Dalam rapat dikemukakan
kebijaksanaan pemerintah untuk dipecahkan bersama, rakyat ikut serta memecahkan masalah. Pemerintahan selalu
dipegang oleh ahli-ahli filsafat.
c. Tipe Negara Romawi
Tipe dari negara Romawi adalah imperium. Yunani sendiri menjadi daerah
jajahan dari Romawi. Pemerintahan di Romawi dipegang oleh Caesar yang menerima
seluruh kekuasaan dari rakyat atau apa yang dinamakan Caesarismus. Pemerintahan
Caesar adalah secara mutlak. Suatu undang-undang di Romawi apa yang dinamakan
Lex Regia.
d. Tipe Negara Abad Pertengahan
Ciri khas tipe negara abad pertengahan adalah adanya dualism
(pertentangan).
1) Dualisme antara penguasa dengan rakyat.
2) Dualisme antara pemilik dan penyewa tanah sehingga munculnya feodalisme.
3) Dualisme antara negarawan dan gerejawan (sekularisme).
Akibat adanya dualisme ini, timbul keinginan rakyat untuk saling
membatasi hak dan kewajiban antara raja dan rakyat. Ini dikemukakan oleh aliran
monarchomachen (golongan anti raja yang mutlak). Perjanjian mereka disepakati
dan diletakkan dalam leges fundamentalis yang berlaku sebagai undang-undang.
e. Tipe Negara Modern
1) Berlaku asas demokrasi.
2) Dianutnya paham negara hukum.
3) Susunan negaranya kesatuan. Di dalam negara hanya ada satu pemerintahan
yaitu pemerintahan pusat yang mempunyai wewenang tertinggi.
2. Tipe Negara yang Ditinjau dari Sisi Hukum
Tipe negara yang ditinjau dari sisi hukum adalah penggolongan
negara-negara dengan melihat hubungan antara penguasa dan rakyat. Terdapat dua
tipe, yaitu :
a. Tipe Negara Policie (Polizei Staat)
Pada tipe ini negara bertugas menjaga tata tertib saja atau dengan kata
lain negara jaga malam. Pemerintahan bersifat monarkhi absolute. Penegertian
policie adalah welvaartzorg, yang mencakup dua arti, yaitu :
1) Penyelenggaraan negara positif (bestuur).
2) Penyelenggara negara negative (menolak bahaya yang mengancam
negara/keamanan).
b. Tipe Negara Hukum (Rechts Staat)
Di sini tindakan penguasa dan rakyat harus berdasarkan hukum. Ada tiga
bentuk tipe negara hukum.
1) Tipe Negara Hukum Liberal
Tipe negara hukum liberal ini menghendaki agar supaya
negara berstatus pasif artinya bahwa warga negara harus tunduk pada
peraturan-peraturan negara. Penguasa dalam bertindak sesuai dengan hukum. Di
sini kaum liberal menghendaki agar antara penguasa dan yang dikuasai ada suatu
persetujuan dalam bentuk hukum, serta persetujuan yang menguasai penguasa.
2) Tipe Negara Hukum Formil
Negara hukum formil yaitu negara hukum yang mendapat
pengesahan dari rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum
tertentu, harus berdasarkan undang-undang. Negara hukum formil ini disebut pula
dengan negara demokratis yang berlandaskan negara hukum. Dalam hal ini menurut
Stahl seorang sarjana Denmark maka negara hukum formil itu harus memenuhi empat
unsur :
a) Bahwa harus adanya jaminan terhadap hak-hak asasi.
b) Adanya pemisahan kekuasaan.
c) Pemerintahan didasarkan pada undang-undang.
d) Harus ada peradilan administrasi.
3) Tipe Negara Hukum Materiil
Negara hukum materiil sebenranya merupakan
perkembangan lebih lanjut daripada negara hukum formil. Jadi apabila pada
negara hukum formil tindakan dari penguasa harus berdasarkan undang-undang atau
harus berlaku asas legalitas, maka dalam negara hukum materiil tindakan dari
penguasa dalam hal mendesak demi kepentingan warga negaranya dibenarkan
bertindak menyimpang dari undang-undang atau berlaku asas opportunitas.
Menurut Jellinek, ada dua macam cara mengenai terbentuknya kemauan
negara :[8]
1. Kemauan negara itu terbentuk atau tersusun di dalam jiwa seseorang yang
mempunyai wujud atau bentuk fisik.
2. Kemauan negara itu terbentuk atau tersusun di dalam suatu dewan.
F.
HAKIKAT NEGARA
Secara sosiologis, hakikat negara adalah :
1.
Ikatan suatu bangsa, suatu
komunitas sosiologis.
2.
Organisasi kewibawaan,
memiliki wibawa untuk memutuskan hal-hal yang penting bagi kehidupan bersama.
3.
Organisasi sebagai jabatan (ambten organisatie), negara terbagi
dalam jabatan-jabatan yang menjalankan fungsi tertentu.
4.
Organisasi kekuasaan, negara
merupakan alat untuk menjalankan kekuasaan dalam arti luas.
Hakikat negara Republik Indonesia adalah sebagai
berikut :
1. Ikatan sosiologis bangsa Indonesia, yang terdiri dari ragam suku bangsa,
bahasa, dan budaya.
2. Organisasi kewibawaan yang menunjukkan eksistensi pemerintahan yang
secara efektif mengambil keputusan-keputusan nasional bagi keberlangsungan hidup
bangsa Indonesia.
3. Organisasi jabatan yang mengatur struktur jabatan-jabatan dalam
pemerintahan guna menjalankan tujuan dan fungsi-fungsi negara yang telah
ditetapkan konstiusi.
4. Organisasi kekuasaan yang menentukan segala bentuk kekuasaan di bawahnya
(forma-formarun), dan memaksakan keberlakuan bentuk norma-norma yang ada dalam
masyarakat (norma-normarun).
5. Penguasa atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak.
6. Penguasa atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
7. Organisasi publik yang melindungi hak-hak asasi warga negaranya, baik di
dalam maupun di luar negeri.
8. Organisasi yang mengejawantahkan cita hukum dalam kehidupan negara.
Menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kedamaian hidup warganya. Di sini
ditegaskan bahwa negara sebagai alat untuk merealisasikan keadilan sosial.
G.
SARJANA-SARJANA
B erikut adalah nama para sarjana
sejak zaman Yunani, Abad Pertengahan, hingga abad ke-20 ini.[9]
1.
Socrates (469 - 399 SM)
2.
Plato (429 – 347 SM)
3.
Aristoteles (384 – 322 SM)
4.
Epicurus (342 – 271 SM)
5.
Zeno (300 M)
6.
Al Farabi (870 – 950)
7.
Ibnu Sina (Avicena 980 –
1937)
8.
Al Ghazali (1058 – 1111)
9.
Averroes (Ibnu Rusjdi) (1126
– 1198)
10. Thomas Aquino (1265 – 1334)
11. Dante Alleghiere (1265 – 1334)
12. Ibnu Chaldun (1332 – 1405)
13. Niccolo Macchiavelli (1469 – 1527)
14. Thomas Morus (1478 – 1535)
15. Jean Bodin (1530 – 1595)
16. Hugo de Groot (1583 – 1645)
17. Thomas Hobbes (1588 – 1645)
18. Samuel Pfufendorf (1632 – 1694)
19. Spinoza (1642 – 1677)
20. John Locke (1632 – 1704)
21. Christian Thomaseus (1655 – 1728)
22. Montesquieu (1688 – 1755)
23. David Hume (1711 – 1766)
24. J. J. Rousseau (1712 – 1778)
25. Immanuel Kant (1724 – 1804)
26. August Comte (1789 – 1857)
27. Carl von Savigny (1814)
28. Hegel
29. John Stuart Mill
30. Herber Spencer (1820 – 1903)
31. Karl Marx (1818 – 1883)
32. Friedriech Engels
33. Oppenheimer (1864 – 1943)
34. Nietzsche (1884 – 1890)
35. Paul Laband (1838 – 1918)
36. Lenin (1870 – 1924)
37. F. Tonnies
38. Rudolf Stammier (1856 – 1938)
39. Mussolini (1883 – 1945)
40. Adolf Hitler (1890 – 1945)
41. Mahatma Gandhi
42. Mao Tse Tsung
43. Soekarno
H.
IDEOLOGI
NEGARA
Ideologi
berasal dari kata ideo artinya
cita-cita, dan logy berarti
pengetahuan, ilmu dan paham. Menurut W. White definisi dari ideologi ialah: The sum of political ideas or doctrines of a
distingtdshcuble class or group of people, artinya ideologi ialah soal cita-cita
politik atau doktrin atau ajaran suatu lapisan masyarakat atau sekelompok
manusia yang dapat dibeda-bedakan.
Sedangkan
menurut pendapat Harol H. Titus, definisi dari ideologi itu adalah: A term used for any group of ideas
concerning various political and economic issues and social philosophies often
applied to a systematic acheme of ideas held by groups or classes, artinya:
Suatu istilah yang dipergunakan untuk sekelompok cita-cita mengenai berbagai
macam masalah politik dan ekonomi filsafat social yang sering dilaksanakan bagi
suatu rencana yang sistematis tentang cita-cita yang dijalankan oleh sekelompok
atau lapisan masyarakat.
Adapun
ideologi negara itu termasuk dalam golongan pengetahuan social, dan tepatnya
dapat digolongkan ke dalam ilmu politik sebagai anak cabangnya.
Bila
rumusan ini diterapkan pada Pancasila dengan definisi-definisi filsafat, dapat
disimpulkan, Pancasila itu ialah hasil usaha pemikiran manusia Indonesia untuk
mencari kebenaran, kemudian sampai mendekati atau menganggap sebagai suatu
kesanggupan yang digenggamnya seirama dengan ruang dan waktu. Hasil pemikiran
manusia Indonesia yang sungguh-sungguh secara radikal itu kemudian dituangkan
dalam suatu rumusan rangkaian kalimat yang mengandung satu pemikiran yang
bermakna bulat dan utuh untuk dijadikan dasar, asas, dan pedoman atas norma
hidup dan kehidupan bersama dalam rangka perumusan satu negara Indonesia
merdeka, yang diberi nama Pancasila.[10]
I.
ILMU NEGARA
Ilmu
Negara Umum (Bahasa Belanda: Algemene
Staatskeer, Jerman: Allgemeine
Statlehre), ialah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari sendi-sendi pokok
atau asas-asas, pokok hal ihwal negara-negara pada umumnya (staat als genus) yakni tentang sejarah
terjadinya atau asal mulanya riwayat pertumbuhan dan perkembangannya, hakikat
dasar-dasar atau sifatnya, bentuk-bentuknya, macam-macamnya, lenyapnya, dan
sebagainya, serta mengenai bagaimana hubungan antara negara dengan negara,
negara dengan hukum, negara dengan masyarakat, dan negara dengan agama, dan
sebagainya.
Ruang
lingkup ilmu negara umum dapat dibagi dalam dua bagian, yakni :[11]
1.
Negara dalam arti umum atau
negara sebagai totalitas atau negara dalam arti/sebagai keseluruhan (Ganzhelt Van de Staat). Negara dalam
arti umum, meliputi :
a.
Sifat hakikat negara (het wezen Van de Staat).
b.
Ajaran-ajaran kedaulatan
atau dasar penghalalan hukum suatu negara (Rechtsvaardigingsgrounds
Van de Staat).
c.
Tujuan negara (doel/Zweck Van de Staat).
d.
Bentuk-bentuk negara (Staats vorm).
e.
Tipe-tipe pokok sejarah
negara (Historische hoofdtyps Van de
Staat).
f.
Pertumbuhan negara (Staatswording) yang dapat dibedakan
meliputi.
1)
Pertumbuhan negara secara
primer (Primaize Staats Wording)
2)
Pertumbuhan negara sekunder
(Scundaire Staats Wording).
2.
Struktur negara (Struktur Van de Staat), meliputi :
a.
Alat-alat perlengkapan
negara yang terdiri dari :
1)
Kepala Negara
2)
Pemerintahan
3)
Dewan Perwakilan Rakyat
(termasuk MPR, House of Commons, House of
Representative).
4)
Pengadilan
b.
Desentralisasi yang meliputi
:
1)
Desentralisasi Politik (Politische Desentralisatie)
2)
Desentralisasi Kebudayaan (Culture Decentralisatie)
3)
Desentralisasi Fungsional (Fungtionele Decentralisatie)
4)
Desentralisasi Teknik (Technische Decentralisatie)
5)
Desentralisasi Kolaborasi (Kaloborative Decentralisatie)
c.
Gabungan negara-negara.
d.
Badan pembentuk
undang-undang (konstituante).
e.
Hubungan antara negara
dengan hukum.
f.
Hubungan antara negara
dengan masyarakat.
g.
Fungsi negara yang meliputi
:
1)
Dwipraja dari Goodnow, teorinya :
a)
Policy
making
b)
Policy
executive
2)
Trias Politika dari
Montesquieu :
a)
Eksekutif
b)
Legislatif
c)
Yudikatif
DAFTAR PUSTAKA
A. A. Wattimena, Reza, Melampaui
Negara Hukum Klasik, Yogyakarta; Kanisius, 2007
Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara
dalam Hukum Internasional, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 1991
Boli Sabon, Max, Ilmu Negara Buku
Panduan Mahasiswa, Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992
Djokosutono, Ilmu Negara, Jakarta;
Ghalia Indonesia, 1982
Iver, Mac, Negara Modern, Jakarta;
Bina Aksara, 1984
Kansil, Latihan Ujian Ilmu Negara
Perguruan Tinggi, Jakarta; Sinar Grafika, 2000
-------, Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta; PT. Pradnya Paramita, 2005
Kusnardi, Mohammad, Ilmu Negara, Jakarta;
Gaya Media Pratama Jakarta, 2008
-------, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, Jakarta; CV. Sinar Bakti, 1976
Lubis, Solly, Ilmu Negara, Medan;
Mundur Maju, 1975
Mahfud, Mohammad, Dasar dan
Sruktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta; PT. Rineka Cipta, 2001
Nurtjahjo, Hendra, Ilmu Negara
Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, Jakarta; PT. RajaGrafindo
Persada, 2005
Schmid, Von, Pemikiran tentang
Negara dan Hukum dalam Abad Kesembilanbelas, Jakarta; Erlangga, 1979
Soehinc, Ilmu Negara,
Yogyakarta; Liberty, 1980
Situmolang, Victor, Intisari Ilmu
Negara, Jakarta; Bina Aksara, 1987
[1]Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara dan
Suplemen, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 12
[2] Von
Schmid, Pemikiran tentang Negara dan
Hukum dalam Abad Kesembilanbelas, (Jakarta : Erlangga, 1979), h. 57
[3] Reza
A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum
Klasik, (Yogyakarta : Kanisius, 2007), h. 18-19
[4]Kansil, Latihan Ujian Ilmu Negara Perguruan Tinggi, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2000), h. 11
[6]Ibid.
[7] Djokosutono,
Ilmu Negara, (Jakrta : Ghalia
Indonesia, 1982), h. 46
[8] Soehinc,
Ilmu Negara, (Yogyakarta : Liberty,
1980), h.175
[9] Moh.
Kusnardi, Ilmu Negara, (Jakarta :
Gaya Media Pratama Jakarta, 2008), h. 105-106
[10] Kansil,
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta
: PT. Pradnya Paramita, 2005), h. 27-28
[11] Victor
Situmolang, Intisari Ilmu Negara,
(Jakarta : Bina Aksara, 1987), h. 1-3
0 komentar:
Posting Komentar